Bank Kbmi 3 Siapa Saja

Bank Kbmi 3 Siapa Saja

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sedang berlomba menghimpun dana murah atau CASA di tengah tren suku bunga tinggi atau higher for longer. CASA yang sehat dibutuhkan untuk mempertahankan likuiditas dan dapat memacu kredit.

Tren suku bunga tinggi membuat beban bunga yang ditanggung oleh para bank pun semakin memberatkan. Akibat tren suku bunga tinggi beban bunga melonjak hingga 40% lebih pada kuartal pertama 2024 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Bank pun harus merelakan pertumbuhan laba yang tergerus akibat menanggung beban bunga yang semakin berat. Selain itu akselerasi kredit pun menjadi terbatas.

Maka dari itu perbankan saat ini berlomba untuk mengumpulkan dana murah atau CASA. Tujuannya agar tetap menjaga likuiditas tanpa mengorbankan laba perusahaan.

Dana murah atau CASA adalah instrumen tabungan atau giro. Disebut dana murah karena bank tidak memberikan bunga kepada nasabah yang menabung atau menyimpan dana di bank tersebut.

Berbeda dengan deposito, di mana bank harus memberikan bunga kepada nasabah yang menaruh dana di bank. Maka dari itu, deposito disebut dana mahal. Bunga deposito pun mengikuti acuan suku bunga. Artinya saat tren suku bunga tinggi, bunga deposito pun besar. Ini yang menyebabkan beban bunga bank pun membengkak.

Proporsi CASA yang dihimpun bank semakin baik akan menekan cost of fund atau biaya yang dibayarkan oleh bank atas dana yang digunakan untuk bisnis.

Kinerja CASA bank biasanya diukur dengan CASA ratio. Yakni rasio yang mengukur jumlah CASA dibandingkan dengan dana pihak ketiga (DPK).

Diantara bank besar atau KBMI IV, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) memiliki CASA ratio yang lebih baik dibandingkan dengan bank lainnya. CASA ratio BBCA sebesar 80,7% per Maret 2024.

Dana murah BBCA pada kuartal pertama 2024 tercatat Rp904,5 triliun, tumbuh 7,3% dibandingkan perolehan pada kuartal yang sama 2023 sebesar Rp843,3 triliun.

Rasio CASA yang mencapai 80% dapat menjadi bantalan yang baik untuk BBCA dalam meredam kenaikan suku bunga. Hal ini tercermin dari jumlah beban bunga bank milik Grup Djarum tersebut yang naik 25% menjadi Rp3,1 miliar, paling sedikit ketimbang bank KBMI IV lainnya.

Laba bank BBCA pun mampu terakselerasi dengan baik. Laba BBCA tercatat Rp12,9 triliun tumbuh 11,7% pada kuartal pertama 2024 dibandingkan periode yang sama 2023.

Sementara itu, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) memiliki rasio dana murah paling sedikit dibandingkan bank KBMI IV.

Pada kuartal pertama 2024, CASA ratio BBRI tercatat 61,66% dengan jumlah CASA senilai Rp873,29 miliar.

Beban bunga BBRI per Maret 2024 mencapai Rp14,12 miliar, melonjak 45,9% dibandingkan Maret 2023 senilai Rp9,68 miliar. Laba BBRI pun bertumbuh secara konservatif, hanya 2,7% year-on-year.

BBCA dan BBRI menjadi gambaran bagaimana CASA menjadi salah satu kunci performa bagi bank di saat tren suku bunga higher for longer.

CNBC INDONESIA RESEARCH

ILUSTRASI. Kinerja bank berdasarkan modal inti (KBMI) 3 sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini terlihat lebih buruk dari bank KBMI 4./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/18/11/2019.

Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kinerja bank berdasarkan modal inti (KBMI) 3 sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini kurang memuaskan. Sebagian besar bank di kelompok ini mencatatkan penurunan kinerja di tengah peningkatan beban bunga.

Jika dilihat dari laporan kuartalan bank KBMI 3, lima bank tercatat mengalami penurunan laba bersih. Pertumbuhan laba hanya ditorehkan oleh Bank CIMB Niaga, Bank OCBC NISP, Bank Syariah Indonesia (BRIS), dan Bank Permata.

PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) mencatatkan laba bersih senilai Rp 5,13 triliun hingga kuartal III 2024. Nilai tersebut tumbuh 4,7% secara tahunan atau year on year (YoY) jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang ada di Rp 4,95 triliun.

Baca Juga: Risiko Kredit Macet Tetap Mengintai Perbankan, Meski Rasio NPL Membaik

Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan, perolehan laba ini diiringi dengan penyaluran kredit yang naik 6,4% YoY menjadi Rp 218,6 triliun, terutama dari pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang naik 9,4 % YoY, diikuti oleh perbankan korporat yang tumbuh 7,1% YoY, dan Perbankan Konsumer meningkat 5,4% YoY.

"Kenaikan tertinggi di kredit atau pembiayaan retail terutama dikontribusikan dari pertumbuhan Kredit Pemilikan Mobil (KPM) yang meningkat sebesar 18,2 persen YoY," kata Lani dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (2/11).

Adapun PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) membukukan laba bersih sebesar Rp 5,11 triliun hingga kuartal-III 2024. Angka tersebut naik 21,60% apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Direktur Utama BSI Hery Gunardi mengatakan pencapaian tersebut tak lepas dari pertumbuhan bisnis yang sehat. Hingga kuartal-III 2024 pendapatan margin bagi hasil BSI mencapai sebesar Rp 18,41 triliun, tumbuh sebesar 1,98% YoY.

Selain itu, indikator profitabilitas mengalami kenaikan dilihat dari Return on Asset (ROA) yang mengalami kenaikan sebesar 12 basis poin year to date mencapai sebesar 2,47% dan Return on Equity atau ROE tercatat di level 17,59 persen, naik dari September 2023 di angka 16,85%.

Baca Juga: Kinerja Mobile Banking Bank KBMI 4 Melesat, Siapa Pemimpin Transaksi Tertinggi?

"Dengan demikian BSI mampu membukukan laba bersih kuartal ketiga 2024 sebesar Rp 5,11 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 21,60% secara YoY," kata Hery.

Sementara PT Bank OCBC NISP Tbk (OCBC) membukukan laba bersih Rp 3,82 triliun pada akhir September 2024, meningkat 25,24% YoY.

Pertumbuhan laba bersih ini didorong oleh pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) yang naik sebesar 10,03% YoY menjadi Rp 8,12 triliun, seiring dengan penurunan beban cadangan kerugian penurunan nilai atas aset keuangan.

Pertumbuhan kinerja ini juga didukung dari aksi korporasi perseroan yang telah mengakuisisi PT Bank Commonwealth (PTBC) pada Mei 2024.

“Memasuki kuartal ketiga tahun ini, bank semakin tangguh dengan mencatatkan kinerja yang tumbuh secara konsisten. Pertumbuhan aset yang mencapai 16% dan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 8% mencerminkan kepercayaan nasabah yang semakin besar terhadap OCBC," ungkap Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur OCBC.

PT Bank Permata Tbk. (BNLI) juga membukukan pertumbuhan laba bersih 30,1% YoY mencapai Rp2,8 triliun pada kuartal III-2024.

Direktur Utama Bank Permata Meliza M. Rusli menyampaikan angka positif tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan penyaluran kredit kepada segmen korporasi, komersil, dan konsumer. Kolaborasi dengan Bangkok Bank juga turut menyokong kinerja.

Baca Juga: Cermati Sektor-Sektor Menarik di Musim Laporan Keuangan Kuartal III 2024

“Penyaluran kredit yang dilakukan secara fokus dan konsisten dengan prinsip kehati-hatian menghasilkan pertumbuhan kredit sebesar 8,6% menjadi Rp150,8 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya,” katanya.

Adapun bank yang mengalami kontraksi laba, di antaranya Bank Danamon dengan penurunan sebesar 8,9%, Bank BTPN sebesar 4,7%, Bank Panin 19%, Maybank Indonesia 55,2%, dan Bank Mega sebesar 28,5%.

Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji menilai, pergerakan harga saham nya yang relatif liquid ada Bank Niaga, Bank Danamon, dan BRIS.

"Kalau menurut saya dalam manfaatkan kondisi pergerakan harga, misalnya kalau BDMN kan sideways ya, primary trendnya. Tapi jika dalam keadaan bullish atau uptrend, memang saya melihat ada Bank CIMB Niaga, dan BRIS. Kalau sisanya untuk bank-bank lainnya memang harus ada tuntutan untuk melakukan aksi korporasi dalam rangka meningktkan likuiditas," ungkap Nafan kepdaa kontan.co.id, Minggu (3/11).

Misalnya kata Nafan dengan melakukan rights issue, pendanaan, dan merger. Seperti merger yang dialami oleh NISP, dan Bank Commonwealth. Nafan melihat, untuk saham NISP memang sempat bullish, tapi bullishnya juga karena faktor merger. "Merger kan berakhir, jadi sentimennya juga berakhir," katanya.

Lebih lanjut Nafan menjelaskan, terkait kinerja fundamentalnya semuanya tergantung bagaimana perbankan tersebut bisa mampu meningkatkan ekspansi bisnis. Baik itu dalam bentuk lendings maupun juga savings.

Baca Juga: Perbankan Berlomba Menggenjot Mobile Banking

Juga secara umum, secara makro. Jika melihat tren penurunan suku bunga oleh Bank Indonesia ke depan disebut Nafan akan terbuka lebar. Hal ini sering dengan adanya kebijakan bank sentral global dalam rangka menurunkan suku bunga acuan.

"Paling ini diharapkan bisa mampu meningkatkan likuiditas. Dengan demikian maka bank-bank tersebut diharapkan bisa mampu menjalankan ekspansi bisnisnya. Dalam hal ini ekspansi kredit. Sehingga bisa memperkuat kinerja net interest margin ke depannya," imbuhnya.

Sementara, Investment Consultant Reliance Sekuritas Indonesia Reza Priyambada mengatakan, saham-saham bank lapis dua yang  menarik dikoleksi jika melihat kinerja keuangannya yang positif di kuartal III di antaranya saham NISP, BNLI, BNGA, dan BRIS.

Menurutnya, dengan fundamental yang kuat dan pertumbuhan yang konsisten, saham NISP memiliki prospek yang positif, sementara saham BNGA memiliki valuasi yang murah dengan Price Earning Ratio (PER) dan Price Book Value (PBV) yang masih di bawah rata-rata industri, menjadikannya pilihan yang menarik.

"Adapun saham BNLI masih menarik untuk dipertimbangkan karena memiliki potensi untuk tumbuh lebih lanjut. Secara keseluruhan, meskipun beberapa bank mengalami penurunan laba, prospek saham bank lapis dua masih menarik karena valuasi yang relatif murah dan fundamental yang kuat," kata Reza.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Reporter: Selvi Mayasari Editor: Handoyo .

Sastrawati , T. ., & Muchtar, S. (2024). Pengaruh Macroeconomi dan Bank Specific terhadap Non- Performing Loans pada Bank KBMI 3 yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. El-Mal: Jurnal Kajian Ekonomi & Bisnis Islam, 5(4), 2469–2476. https://doi.org/10.47467/elmal.v5i4.1096

Seperti kita ketahui, bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Namun seiring berkembangnya teknologi, layanan perbankan kini semakin beragam. Tidak hanya sekadar melakukan transaksi seperti transfer dan tarik tunai, kini kamu bisa membeli pulsa hingga kuota murah melalui ATM ataupun secara online.

Tahukah kamu bahwa bank-bank yang kita kenal selama ini ternyata dikelompokkan menurut tingkatannya? Ada bank skala kecil dan ada bank skala besar. Pengelompokan jenis bank ini diatur oleh Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. Sistem pengelompokan ini dibuat guna meningkatkan daya saing di dalam dunia perbankan agar setiap perusahaan mampu berkembang dan memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh masyarakat di Indonesia.

Aturan tersebut kemudian diperbarui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan keluarnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.

Kemudian mengacu pada POJK Nomor 12 /POJK.03/2021 tentang Konsolidasi Bank Umum, diatur pula mengenai peningkatan secara bertahap permodalan bank umum, termasuk bank berbadan hukum Indonesia (BHI), bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan kantor cabang luar negri, yakni pemenuhan Modal Inti minimum dan CEMA (Capital Equivalency Maintained Assets) minimum paling sedikit Rp3 triliun paling lambat 31 Desember 2022.

Sebelum adanya pengelompokan bank berdasarkan modal inti (KBMI), pengelompokan bank sebelumnya didasarkan pada kegiatan usaha yang dikenal dengan Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Ketentuan mengenai BUKU dapat ditemukan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012. Di dalam PBI tersebut tercantum 4 kategori BUKU mulai dari BUKU 1 hingga BUKU 4.

BUKU 1 merupakan kategori terendah, sedangkan BUKU 4 termasuk kategori tertinggi dibanding BUKU lainnya. Agar kamu dapat lebih memahami perbandingan modal inti setiap kategori, berikut rinciannya:

BUKU 1: Modal inti sampai dengan 1 triliun rupiah.

BUKU 2: Modal inti lebih dari 1 triliun rupiah hingga 5 triliun rupiah.

BUKU 3: Modal inti lebih dari 5 triliun rupiah hingga 30 triliun rupiah.

BUKU 4: Modal inti lebih dari 30 triliun rupiah.

Karena adanya perbedaan dalam kepemilikan modal inti, maka tiap-tiap kategori memiliki kelengkapan layanan dan cakupan wilayah yang berbeda-beda. Untuk bank yang masuk ke dalam kategori BUKU 1 dan 2, wilayah kerjanya hanya mencakup wilayah nasional saja. Sementara kategori BUKU 3 dan 4 memiliki fasilitas layanan yang lebih lengkap dan bisa melayani urusan perbankan hingga ke luar negeri.

Dengan adanya pengelompokan ini, bank umum senantiasa terpacu untuk meningkatkan modal intinya sehingga level kategorinya juga bisa meningkat. Peningkatan kategori ini ini tentu saja akan berpengaruh terhadap cakupan kegiatan usaha yang lebih luas. Pada gilirannya, potensi pendapatan yang bisa diperoleh bank akan lebih besar.

Sejak tahun 2021, OJK tidak lagi mengklasifikasikan bank-bank umum di Indonesia berdasarkan Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 1, 2, 3, dan 4. OJK kini menggunakan klasifikasi Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI).

Dalam aturan terbarunya, OJK menaikkan modal minimal bank di tiap kategorinya. Mengapa penentuan modal inti begitu penting? Karena hal tersebut memiliki keterkaitan dengan tingkat keamanan serta kekuatan suatu bank dalam menghadapi risiko operasionalnya. Artinya, bank dengan modal inti yang tinggi memiliki tingkat keamanan yang tinggi dalam mengelola dana nasabahnya. Begitupun sebaliknya.

Berdasarkan modal intinya, bank dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu KBMI 1, 2, 3, dan 4.

KBMI 1: Modal inti sampai dengan 6 triliun rupiah.

KBMI 2: Modal inti lebih dari 6 triliun rupiah hingga 14 triliun rupiah.

KBMI 3: Modal inti lebih dari 14 triliun rupiah hingga 70 triliun rupiah.

KBMI 4: Modal inti lebih dari 70 triliun rupiah.

Pengelompokan ini berlaku untuk bank berbadan hukum Indonesia, bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, unit usaha syariah bank, dan kantor cabang bank luar negeri (KCBLN). Untuk unit usaha syariah bank, ketentuan modal inti mengacu pada modal inti bank yang menjadi induknya.

Perubahan penggolongan bank umum ini jelas berpengaruh pada posisi atau kedudukan masing-masing bank. Sebelumnya dengan menggunakan kategori BUKU, terdapat delapan bank umum yang menduduki ‘kasta’ tertinggi. Namun dengan kategorisasi yang baru dengan KBMI, hanya terdapat empat bank umum saja yang menduduki posisi tertinggi, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Central Asia (BCA), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI).

Perubahan sistem dari BUKU menjadi KBMI sempat membuat 5 bank “turun kasta”. Kelima bank tersebut adalah Bank CIMB Niaga, Bank Danamon, PaninBank, Bank Permata, dan Bank OCBC NISP. Kelima bank tersebut kini digolongkan menjadi KBMI 3.

Setelah aturan ini dibuat, ke depannya tidak akan ada lagi bank umum yang memiliki modal inti di bawah Rp1 triliun. Pada tahun 2021 modal inti bank umum yaitu sebesar Rp2 triliun, dan Rp3 triliun di tahun 2022. Oleh karena itu, untuk bisa memenuhi persyaratan terkait modal inti, banyak bank kecil yang melakukan right issue atau penambahan modal dari investornya.

Apabila bank tidak mampu memenuhi modal inti minimum sampai batas yang dimaksud, bank-bank tersebut harus “terdegradasi” dan berubah status dari bank umum menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Namun untuk bisa bertahan, opsi untuk menggabungkan bank atau merger juga dapat dilakukan.

Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah bank di jajaran KBMI II, atau bank yang masuk kelompok modal inti lebih dari Rp 6 triliun sampai Rp 14 triliun menunjukkan optimismenya dapat mencapai target pertumbuhan kredit hingga akhir tahun 2023 sesuai dengan Rencana Bisnis Bank (RBB) yang telah ditetapkan di awal.

PT BPD Jawa Barat Banten Tbk (Bank BJB) misalnya, optimisme bank ini tidak berubah untuk mencapai target pertumbuhan kredit hingga akhir tahun 2023 di kisaran 9%-11%.

"Untuk target bisnis sesuai rencana bisnis masih on track, kami melihat bisnis terus bertumbuh, termasuk di kuartal terakhir tahun ini, sesuai guidance kami 9%-11% YoY," kata Yuddy Renaldi, Direktur Utama Bank BJB kepada Kontan belum lama ini.

Optimisme tersebut dapat dilihat dari laporan keuangan Bank BJB per Agustus 2023, dimana penyaluran kredit tercatat sudah mencapai Rp 114,94 triliun, atau tumbuh 10,6% YoY dari Rp 103,90 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Baca Juga: Suku Bunga Acuan BI Naik, Bunga Deposito Siap Menyusul?

Yuddy menyebut melihat perkembangan dan potensi pertumbuhan kredit yang ada tersebut pihaknya memproyeksikan target dapat dapat tercapai hingga akhir tahun.

Adapun secara absolut nominal, Yuddy menyebut segmen konsumer dan korporasi menjadi kontributor terbesar untuk pertumbuhan kredit Bank BJB. Meski begitu dirinya mengatakan kredit segmen korporasi pertumbuhannya tidak seoptimis proyeksi mereka di awal tahun.

"Ini karena berbagai kondisi makro juga memperhatikan kondisi kas yang masih cukup besar dimiliki oleh korporasi untuk mendukung aktivitas operasional dan modal kerjanya, juga suku bunga yang masih tinggi saat ini," kata Yuddy.

Di sisi lain, Yuddy melihat kredit segmen KPR masih memiliki permintaannya cukup tinggi, terutama untuk kredit rumah subsidi.

Lebih lanjut, Yuddy bilang segmen konsumer dan ritel juga pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal pertama 2023, sehingga ke depan akan mampu membantu dalam pencapaian target pertumbuhan kredit di akhir tahun 2023.

Senada, PT Bank KB Bukopin Tbk juga optimis untuk mencapai pertumbuhan positif dalam penyaluran kredit hingga akhir tahun 2023.  Wakil Direktur Utama Bank KB Bukopin Robby Mondong mengatakan pihaknya terus mengupayakan ekspansi penyaluran kredit sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja bisnis bank.

"Kami melihat potensi yang besar dalam segmen wholesale (korporasi) sehingga saat ini, segmen ini menjadi fokus kami sambil tetap mendukung pertumbuhan segmen small medium enterprise (SME) dan ritel," kata Robby kepada Kontan, Senin (23/10).

Robby menyebut dengan strategi tersebut, pihaknya percaya bahwa target pertumbuhan kredit sekitar 5%-6% YoY dapat tercapai hingga akhir tahun, dan akan menjadi katalis pertumbuhan ekonomi Bank KB Bukopin yang berkelanjutan di masa mendatang.

Baca Juga: BI Perpanjang Insentif DP 0% Untuk KPR, Begini Respons Perbankan

Meski tidak menyebut rincian berapa besar kredit yang sudah disalurkan hingga Agustus/September, namun Robby bilang capaian perseroan hingga saat ini menunjukkan perkembangan positif.

"Pada semester pertama tahun 2023, kami mencatat pertumbuhan kredit baru yang signifikan, meningkat hingga 40% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya," katanya.

Segmen korporasi atau wholesale banking menjadi salah satu penopang pertumbuhan kredit yang signifikan di Bank KB Bukopin hingga saat ini.

Adapun strategi Bank KB Bukopin untuk mencapai target pertumbuhan kredit sesuai RBB, yakni dengan berfokus pada segmen korporasi atau wholesale terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh cross-selling dengan penyaluran kredit pada segmen SME dan ritel.

Reporter: Nurtiandriyani Simamora Editor: Tendi Mahadi

Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan perubahan klasifikasi bank dari bank umum kegiatan usaha (BUKU) menjadi kelompok bank berdasarkan modal inti (KBMI) tidak mewajibkan penyesuaian modal inti menjadi Rp 6 triliun.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Heru Kristiyana mengatakan, aturan modal inti minimum perbankan yang akan berlaku tetap Rp 3 triliun. Modal minimal ini wajib dipenuhi pada tahun 2022 dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) diberi kelonggaran hingga tahun 2024.

"Pengelompokan KBMI ini sebetulnya hanya untuk kepentingan prudensial OJK, lebih ke dalam. Aturan modal inti tetap Rp 3 triliun. Kalau dalam perkembangannya sangat cepat maka bank akan secara alamiah tambah modal karena digitalisasi butuh teknologi dan teknologi membutuhkan modal," jelas Heru dalam paparan virtual, Senin (23/8).

OJK telah melakukan redefinisi pengelompokan Bank Umum dari sebelumnya BUKU menjadi Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI). Hal tersebut terdapat dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum.

Kelompok KBMI 1 memiliki modal inti sampai dengan Rp 6 triliun, KBMI 2 punya modal inti di atas Rp 6 triliun sampai dengan Rp14 triliun; KBMI 3 modal inti dari Rp14 triliun sampai dengan Rp 70 triliun, dan KBMI 4 modal intinya di atas Rp 70 triliun.

Baca Juga: Investor asing masih berburu bank di Indonesia

Heru juga menegaskan, tidak ada bank yang turun atau naik kelas terkait dengan pengelompokan baru tersebut.

Dulunya, pengelompokan bank dilakukan berdasarkan BUKU dengan tujuan mendorong konsolidasi. Bank BUKU I dibatasi dalam membuat produk yang berkaitan dengan digital dengan harapan bank mau menambah modal agar naik BUKU.

Namun dalam perkembangannya, tujuan OJK tersebut tidak tercapai. Oleh karena itu, OJK memutuskan untuk melakukan perubahan dengan KBMI yang tujuannya agar dapat membuat klaster bank itu menjadi lebih tepat sehingga modal inti itu tidak terlalu jauh antara bank satu dan bank lain.

"Ini sebetulnya hanya untuk kepentingan prudensial OJK, lebih ke dalam, untuk kepentingan bagaimana kita membuat klastering lebih tepat antara bank-bank yang modal intinya sangat-sangat jauh, keperluan statistik dan ketepatan pengelompokkan bank sesuai peer-nya," kata dia.

Selain itu, pengelompokkan baru ini juga bertujuan untuk mendukung terlaksananya implementasi pengaturan secara efektif dan pengawasan yang lebih efisien.

Adapun angka-angka pengelompokan baru tersebut sudah melaui kajian akademis dan menyesuaikan dengan best practice di negara lain.

"Pengelompokan ini betul-betul kami siapkan, kami kaji sangat panjang, sehingga kami akhirnya mengeluarkan angka-angka seperti itu," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk Editor: Herlina Kartika Dewi

ILUSTRASI. Aktivitas cabang Bank Danamon.

Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Sejumlah bank di deretan Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI) 3 mencatatkan kinerja laba bersih yang memuaskan menutup tahun buku 2023. Pencapaian laba bersih tersebut seiring dengan kinerja bisnis bank yang tumbuh.

Dari total 13 bank di deretan KBMI 3, terdapat 9 bank yang sudah merilis laporan keuangannya. PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) keluar menjadi bank dengan perolehan laba bersih terbesar untuk tahun buku 2023, yakni sebesar Rp 6,47 triliun. Jumlah tersebut naik 28,42% secara tahunan (year on year/YoY).

Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan pencapaian laba bersih tersebut tidak terlepas dari upaya perseroan dalam menjaga kinerjanya pada tahun lalu.

Tercatat pertumbuhan kredit CIMB Niaga terutama didorong penyaluran kredit korporasi yang tumbuh 11,7% YoY, disusul oleh penyaluran kredit ke segmen Small Medium Enterprise (SME) yang naik 9,5% YoY dan kredit konsumer yang naik 6,9% YoY. Alhasil total kredit yang telah disalurkan perseroan mencapai Rp 213,4 triliun pada tahun 2023.

Baca Juga: Sektor Telekomunikasi Dapat Sentimen Positif, Cek Rekomendasi TLKM, ISAT dan EXCL

Di sisi lain, saat era bunga tinggi yang menantang, CIMB Niaga berhasil menghimpun dana murah (CASA) dengan rasio sebesar 69,9% dari total dana pihak ketiga (DPK)

"Kami tetap menjaga komitmen terhadap prioritas strategis, dimana area fokus utama kami berfokus memperluas basis nasabah dan meningkatkan himpunan dana murah (CASA), dan juga meningkatkan layanan digital," kata dia.

Selanjutnya di posisi kedua ada PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) dengan perolehan laba bersih Rp 5,7 triliun, naik 33,80% YoY dan menjadi Bank yang laba bersihnya tumbuh paling tinggi di antara bank KBMI 3 lainnya.

BSI menjadi bank di KBMI 3 yang mencatat pertumbuhan pembiayaan tertinggi, yakni mencapai 11,22% YoY menjadi Rp 240,32 triliun pada tahun lalu.Dari sisi pendanaan, BSI juga berhasil mencatatkan pertumbuhan DPK tertinggi di antara bank lainnya, mencapai 12,35% YoY.

Sementara itu PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) dengan kolaborasi yang kuat bersama ekosistem grup yang dimiliknya dengan MUFG dan Adira Finance, serta ditambah akuisisi portofolio kredit ritel konsumsi dari Standard Chartered Bank Indonesia (SCBI), Danamon berhasil mencatatkan laba bersih mencapai Rp 3,50 triliun atau naik 6% YoY pada tahun 2023.

Pencapaian tersebut ditopang oleh pertumbuhan kredit Danamon tertinggi sepanjang sejarah, yakni tembus 19% menjadi Rp 174,9 triliun pada tahun 2023.

Direktur Keuangan Danamon, Muljono Tjandra mengaku optimis untuk melanjutkan kinerja positif tersebut pada tahun ini.

Baca Juga: Volume Penjualan Semen INTP Naik 7% pada Januari, Cek Rekomendasi Sahamnya

"Untuk pertumbuhan kredit kami akan mengacu pada guidance dari regulator, dimana kami fokusnya higher single digit atau lower double digit, di kisaran angka 9%-10%," kata Muljono.

Di sisi lain, PT Bank Mega Tbk (MEGA) mencatatkan kinerja laba bersih yang menurun 13,37% YoY menjadi Rp 3,5 triliun pada tahun lalu.  Wakil Direktur Utama Bank Mega Diza Larentie mengatakan penurunan laba bersih tersebut disebabkan tingginya suku bunga yang berdampak pada kenaikan biaya dana serta penyaluran kredit yang menantang. Alhasil kredit dan DPK Bank Mega kompak menurun tahun 2023 lalu.

Bank Mega mencatat kenaikan cost of fund pada periode 2023 naik menjadi 4,43% dari 3,05% di tahun 2022. Sementara penyaluran kredit turun 5,68% secara tahunan dari Rp 70,29 triliun menjadi Rp 66,29 triliun pada tahun 2023.

"Jadi kalau kita lihat memang cost of fund naik luar biasa. Dalam setahun kemarin, BI saja sudah menaikkan suku bunga beberapa kali. Kemudian kredit agak bertolak belakang, minta bunganya turun padahal cost of fund naik," kata Diza.

Reporter: Nurtiandriyani Simamora Editor: Tendi Mahadi

Anda mungkin ingin melihat